Sabtu, 16 April 2011

etika kebidanan

 Otonomi dalam Praktek Kebidanan

Akuntabilitas bidan dalam praktik kebidanan merupakan suatu hal yang penting dan di tuntut dari suatu profesi, terutama profesi yang berhubungan dengan keselamatan jiwa manusia, adalah pertanggung jawaban dan tanggung gugat (accountability) atas semua tindakan yang dilakukanya. Sehingga semua tindakan yang dilakukan oleh bidan harus berbasis kopetensi dan didasari suatu evidence based. Accountability diperkuat dengan suatu landasan hukum yang mengatur batas-batas wewenang profesi yang bersangkutan.

Dengan adanya legitimasi kewenangan bidan yang lebih luas, bidan memiliki hak otonomi dan mandiri untuk bertindak secara profesional yang dilandasi kemampuan berfikir logis dan sistematis serta bertindak sesuai standar profesi dan etika profesi.
Praktik kebidanan merupakan inti dari berbagai kegiatan bidan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang harus terus menerus ditingkatkan mutunya melalui:

1. Pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan
2. Pengembangan ilmu dan tekhnologi dalam kebidanan
3. Akreditasi
4. Sertifikasi
5. Registrasi
6. Uji kompetensi
7. Lisensi

Beberapa dasar dalam otonomi pelayanan kebidanan antara lain sebagai berikut:

1) Kepmenkes 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktik bidan
2) Standar praktik kebidan
3) UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
4) PP No. 32/Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
5) Kepmenkes 1277/Menkes/SK/XI/2001 tentang organisasi dan tata kerja Depkes
6) UU No. 22/1999 tentang Otonomi daerah
7) UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
8) UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung, dan transplantasi
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi pemerintah daerah (kabupaten dan kota), daerah diberikan kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sendiri bersadarkan kehendak masyarakat dengan tetap berpatokan pada Undang-undang yang berlaku. UU otonomi daerah memberikan dampak yang luas di masyarakat, banyak pengamat mengatakan munculnya “raja-raja” kecil dan tambah menguatnya pengawasan tanpa kendali dari legislatif tanpa disertai dengan tumbuhnya kesadaran dan perubahan yang berarti.
Kesehatan merupakan salah satu aspek yang diatur dan diurus oleh pemerintah daerah, yang pada awalnya bersifat top-down (dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah) sekarang menjadi bottom-up (dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat).
Otonomi daerah bidang kesehatan memberikan kesempatan yang banyak kepada pemerintah untuk mengeksplorasi kemampuan daerah dari berbagai aspek, mulai dari komitmen pemimpin dan masyarakat untuk membangun kesehatan, sistem kesehatan daerah, manajemen kesehatan daerah, dana, sarana, dan prasarana yang memadai, sehingga diharapkan kesehatan masyarakat di daerah menjadi lebih baik dan tinggi.
Masyarakat Indonesia sebagai obyek kebijakan desentraliasi kesehatan, yang seharusnya membangun dan berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan kesehatan, pada kenyataannya tidak banyak ikut membantu, karena stigma masyarakat yang sudah biasa menerima, bukan memberikan masukan. Seperti kita tahu pada sebelum otonomi daerah digulirkan, masyarakat tidak banyak membantu mengenai pembangunan di daearah.
Belum lagi, permasalahan dalam hal perencanaan oleh tenaga kesehatan di daerah yang biasanya di “drop” dari pusat, harus membuat formulasi baru dan banyak tenaga kesehatan di daerah yang tidak mampu untuk membuatnya.
Kenyataannya, tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh UU otonomi daerah, derajat kesehatan masyarakat di daerah tidak kunjung membaik setelah digulirkannya UU ini, bahkan derajat kesehatan masyarakat daerah semakin memburuk dan semakin sulit untuk diatasi, selain dari kurangnya dukungan dana, sarana, dan prasarana, juga karena kesehatan masyarakat perlu pemecahan secara komprehenshif dari berbagai bidang, misalkan saja untuk pemecahan satu masalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) saja memerlukan kerjasama lintas sektoral yang solid, mulai dari dinas kesehatan, dinas pendidikan, dinas kebersihan, dinas lingkungan hidup, dan dinas-dinas lain.
Apalagi ketika otonomi daerah dikaitkan dengan sistem politik yang ada di Indonesia, para bupati/walikota biasanya hanya membuat program jangka pendek, sekitar program 5 (lima) tahunan, karena masa jabatannya lima tahun, sehingga adakalanya program-program kesehatan hanya bersifat formalitas dan tidak menyentuh kepada masyarakat. Padahal jika kita telaah lebih jauh, penyelesaian masalah kesehatan memerlukan waktu yang panjang, yaitu sekitar 10 tahun. Walaupun ada program kesehatan jangka panjang yang direncanakan, namun seperti kita lihat pada kenyataannya, ketika pergantian pemimpin daerah, maka program pun berganti, dan jika tidak berganti, pasti hanya namanya saja bukan melanjutkan program yang sudah berjalan.
secara umum otonomi daerah dalam bidang kesehatan di Indonesia kurang begitu berhasil, hal ini dikarenakan karena masih kurang memihaknya kebijakan untuk membangun kesehatan secara tuntas dan holistik, walaupun sudah ada daerah yang mampu dan berhasil mengembangkan konsep dan kebijakan yang mengarah kearah pembangunan kesehatan.
Pada dasarnya, pembangunan kesehatan merupakan proses menuju kearah produktifitas penduduk suatu daerah, semakin banyak penduduk yang sehat, semakin produktif pula suatu daerah.
Otonomi kesehatan di bidang kesehatan seharusnya mempunyai visi yang sejajar dengan rencana Departemen Kesehatan Republik Indonesia, yaitu Indonesia Sehat 2010, dimana salah satu agenda pentingnya adalah perubahan paradigm dari paradigm sakit ke paradigma sehat, yaitu cara pandang, pola pikir, dan model pembangunan kesehatan yang holistik, menangani masalah kesehatan yang dipengaruhi banyak faktor secara lintas sektoral, dan mengarah pada upaya peningkatan, pemeliharaan, dan perlindungan kesehatan.
Pada dasarnya, otonomi daerah di bidang kesehatan bertujuan untuk menumbuhkan sifat kebaikan dan adil dalam bidang kesehatan, karena setiap daerah mempunyai kewenangan untuk membuat formulasi baru sesuai dengan karakteristik daerahnya masing-masing.


sebelum adanya otonomi daerah, banyak daerah-daerah yang merasa dirugikan dengan kebijakan pemerintah pusat. Hal ini seperti daerah yang mempunyai sumber daya yang besar dan mempunyai jumlah penduduk yang besar di samakan dengan daerah yang memberikan sumber daya yang sedikit dan jumlah penduduk yang sedikit.
otonomi daerah dibidang kesehatan merupakan upaya pemerintah yang harus didukung oleh semua aspek. Untuk memperbaiki dan meningkatkan pelaksanaan otonomi daerah bidang kesehatan di daerah, diperlukan upaya-upaya inovasi yang harus dilakukan oleh pihak eksekutif (pemerintah), legislatif (DPRD), dan masyaakat secara umum.
Pihak eksekutif harus membuat sistem dan pembiayaan kesehatan daerah yang baik, melaksanakan kegiatan-kegiatan berbasis masyarakat dan bersifat proaktif, membuat informasi kesehatan yang canggih dan akurat, materi kesehatan dimasukan kedalam kurikulum pendidikan, menata ulang organisasi dan sumber daya kesehatan, dan membangun kerjasama lintas sektoral yang efektif.
pihak legislatif memiliki kemampuan untuk membuat peraturan dan pengawasan pelaksanaan program pemerintah. Dalam bidang kesehatan, legislatif memiliki kewajiban membuat formuilasi peraturan kesehatan daerah yang efektif dan efisisen dan melakukan kritik dan masukan yang berarti kepada pemerintah untuk melakukan upaya-upaya perbaikan, bukan hanya mengdikte kesalahan pemerintah dalam bidang kesehatan.
Sedangkan masyarakat berkewajiban mengawasi, mendukung, dan ikut serta dalam program-program kesehatan yang dilakukan oleh pemrintah, karena bagaimanapun masyarakat merupakan kunci keberhasilan sistem kesehatan daerah.
Pada saat ini, Departemen Kesehatan Republik Indonesia sedang mengembangkan suatu sistem untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010, yaitu desa siaga. Desa siaga merupakan desa yang sadar, mau, dan mampu menjaga dan mengatasi masalah kesehatan secara mandiri.
Semua usaha pembangunan kesehatan mudah-mudahan membawa perubahan bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat mendatang dan semua elemen tidak berhenti dan berputus asa untuk selalu berjuang untuk memberikan yang terbaik bagi pembangunan kesehatan di Indonesia.

Jika semisal ada daerah yang karena mismanajemen pemda dan dinas kesehatan, baik karena kendala kuantitas dan kualitas SDM maupun dari sisi anggaran, sehingga yang terjadi adalah berbagai kegiatan dan program pembangunan bidang kesehatan menjadi jalan di tempat dan ada kesenjangan pelaksanaan yang mencolok antara apa yang seharusnya dilakukan seperti yang telah disusun oleh pusat dengan apa yang jadi kenyataan di daerah (tapi bukan sekedar mengandalkan laporan dari dinkes lho), maka tindakan apakah yang dilakukan kementerian kesehatan/pusat terhadapdaerah tersebut? Sejauh manakah kewenangan pusat untuk mengintervensi kebijaka ataupun pelaksanaan pembangunan kesehatan terhadap daerah tersebut?

Satu hal yang mungkin banyak para sejawat anggota milis ini setuju adalah
program kesehatan sebagus dan sebaik apapun yang dibuat oleh pusat, ketika tiba di daerah acapkali diartikan sebagai proyek yang ujung-ujungnya pembagian duit,baik dalam bentuk bantuan anggaran, uang SPPD sebagai peserta training, dsb dantak peduli dengan bagaimana pelaksanaannya.

Layanan kesehatan merupakan urusan otonomi yang paling banyak ruang inovasinya. Dari tahun ke tahun, temuan inovasi baru JPIP lebih banyak di sektor tersebut. Itu disebabkan tantangan layanan kesehatan memang jauh lebih kompleks. Kompleksitas itulah yang selalu menghasilkan berbagai ide.

Itu berbeda dengan urusan sektor lain yang dapat dipilah dalam skala prioritas. Dalam urusan kesehatan, hampir semua masalah yang dihadapi merupakan prioritas yang sulit ditunda penyelesaiannya. Masalah dalam urusan kesehatan bila diabaikan akan memunculkan masalah baru.

Dalam indikator evaluasinya, JPIP mengangkat beberapa isu strategis layanan kesehatan. Mulai ketercukupan SDM, sarana prasarana, aksesibilitas layanan, sampai manajemen layanan dan perlindungan kesehatan masyarakat. Ternyata, bagi daerah, semua isu strategis itu merupakan prioritas masalah kesehatan yang harus segera ditangani, tanpa mengabaikan salah satu di antara yang lainnya.
Berbeda dengan urusan lainnya yang bisa berupa program bulanan maupun semesteran, urusan layanan kesehatan bagi pemerintah daerah merupakan layanan harian yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Dengan demikian, potensi komplain masyarakat atas layanan kesehatan juga muncul setiap hari. Dalam wilayah yang berbeda, berarti terjadi komplain serentak.

Hal lain yang membuat urusan kesehatan menjadi tantangan berat pemerintah daerah adalah karena kesehatan tidak sekadar upaya pengobatan atau rehabilitasi penyakit (kuratif). Pemda bertanggung jawab pula atas upaya perlindungan dan pencegahan penyakit (preventif bagi masyarakat). Bahkan, daerah berperan sebagai regulator bagi layanan kesehatan swasta.

Karena itu, pemda tidak bisa hanya memprioritaskan layanan yang lebih bersifat kuratif, seperti sekadar mempercanggih layanan rumah sakit. Daerah membutuhkan puskesmas yang memiliki tanggung jawab kewilayahan untuk melakukan upaya kesehatan preventif, seperti penyuluhan kesehatan. Pada saat yang sama, upaya kesehatan kuratif maupun preventif harus dirasakan secara merata.

Dengan demikian, ketika daerah memprioritaskan pemenuhan tenaga kesehatan sementara sarana prasarana masih kekurangan, layanan kesehatan tidak bisa jalan. Di sisi lain, pemenuhan SDM dan sarana prasarana pada saat yang sama harus disertai pemerataan layanan. Aksesibilitas menjadi hal penting. Dalam bahasa sederhana, aksesibilitas diartikan mudahnya layanan, murahnya layanan, dan meratanya layanan kesehatan.

Temuan JPIP menjelang Otonomi Award 2010 ini menunjukkan tren daerah yang tidak bisa mengabaikan pemerataan atau kemudahan akses layanan bagi warga. Salah satu program yang mencerminkan pemerataan akses layanan adalah jamkesmasda (jaminan kesehatan masyarakat daerah). Hampir semua kabupaten/kota memiliki program jamkesmasda, meski dengan nama yang berbeda. Jamkesmasda merupakan perluasan dari jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) yang merupakan program pemerintah pusat bagi layanan kesehatan masyarakat miskin.

Jamkesmasda diproyeksikan bagi keluarga miskin yang tidak terdaftaf dalam kuota jamkesmas yang dikeluarkan pemerintah pusat. Dengan demikian, semua keluarga miskin dapat berobat gratis di puskesmas maupun RSUD pada beberapa jenis layanan yang disediakan. Sebagian besar keluarga miskin ditanggung APBN, sementara yang lainnya ditanggung APBD.

Jamkesmasda memang memenuhi aspek pemerataan secara pengelompokan masyarakat. Tetapi, pemerataan secara kewilayahan tetap menjadi "PR" pemda pada layanan kesehatan. Oleh karena itu, optimalisasi layanan puskesmas sepanjang waktu perlu terus dioptimalkan. Sejumlah program yang menunjang kinerja atau dikoordinasikan puskesmas menjadi andalan daerah dalam memberikan layanan kesehatan bagi warganya.

Salah satu yang banyak dilakukan di Jawa Timur adalah penerapan sistem informasi kesehatan (SIK) di puskesmas, sebagian menamakan SIMPUS. Hal itu bahkan menjadi impian semua dinas kesehatan kabupaten/kota di Jawa Timur.

Permudah Layanan

Penerapan sistem informasi kesehatan memang terbukti menguntungkan kinerja puskesmas. Layanan kuratif di puskesmas bisa dipercepat. Mulai loket pendaftaran pasien, ruang pengobaan, sampai pemberian obat terintegrasi melalui jaringan komputer. Data pasien dan riwayat penyakit tersimpan dalam database sistem informasi kesehatan tersebut. Dengan demikian, pelayanan bisa lebih cepat dan efisien. Kartu pasien yang manual tidak lagi diperlukan. Biaya pengadaan kertas bisa dikurangi.

Sistem informasi kesehatan (SIK) dapat dimanfaatkan pula untuk fungsi kinerja preventif puskesmas dan dinas kesehatan secara luas. Selain database pasien dan riwayat kesehatannya, SIK banyak dikembangkan untuk memuat surveillance data kesehatan di wilayah puskesmas. Bahkan, ada puskesmas yang mengembangkan SIK dalam berbagai modul, seperti sistem informasi gizi masyarakat, sistem informasi sanitasi masyarakat, serta sistem informasi kesehatan ibu dan anak. Berbagai modul SIK di puskesmas dapat diintegrasikan ke dalam jaringan informasi kesehatan yang lebih luas (SIK kabupaten).

Database SIK itu dapat dipakai untuk membuat kebijakan dan program strategis di bidang kesehatan, baik di setiap wilayah puskesmas maupun se-kabupaten/kota. Data kesehatan hasil surveillance yang dilakukan petugas sepanjang waktu terdokumentasi dan menjadi database yang dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu untuk berbagai kebutuhan. Dengan memanfaatkan data SIK pula, upaya kebijakan pemerataan dan kemudahan akses layanan bagi masyarakat bisa dilakukan.

Untuk program inovasi kesehatan lain, seperti pemenuhan tenaga kesehatan dan sarana prasarana, target utamanya adalah pemerataan dan akses layanan. Hampir semua program berangkat dari pesoalan kekurangan tenaga kesehatan dan sarana prasarana. Untuk mengatasi persoalan itu, beberapa daerah menyiasati dengan program dokter desa, dokter spesialis puskesmas, dan dokter keluarga. Untuk mengatasi kekurangan bidan, dilakukan program kemitraan bidan dan dukun bayi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar